SEJARAH, Penelusuran Poerbatjaraka (seorang ahli bahasa Sansakerta dan bahasa Jawa Kuno). Kata “Bekasi” secara filologis berasal dari kata Candrabhaga; Candra berarti bulan (“sasi” dalam bahasa Jawa Kuno) dan Bhaga berarti bagian. Jadi Candrabhaga berarti bagian dari bulan. Pelafalan kata Candrabhaga kadang berubah menjadi Sasibhaga atau Bhagasasi. Dalam pengucapannya sering disingkat Bhagasi, dan karena pengaruh bahasa Belanda sering ditulis Bacassie (di Stasiun KA Lemahabang pernah ditemukan plang nama Bacassie). Kata Bacassie kemudian berubah menjadi Bekasi sampai dengan sekarang.
Candrabhaga
merupakan bagian dari Kerajaan Tarumanagara,
yang berdiri sejak abad ke 5 Masehi. Ada 7 (tujuh) prasasti yang menyebutkan adanya kerajaan Tarumanagara yang
dipimpin oleh Maharaja Purnawarman, yakni Prasasti Tugu (Cilincing, Jakarta), Prasasti Ciaruteun, Prasasti Muara Cianten, Prasasti Kebon Kopi, Prasasti Jambu, Prasasti Pasir Awi (ke
enam prasasti ini ada di daerah Bogor), dan satu prasasti di daerah Bandung
Selatan (Prasasti Cidangiang).
Diduga
bahwa Bekasi merupakan salah satu pusat Kerajaan Tarumanagara (Prasasti Tugu,
berbunyi : ..dahulu kali yang bernama Kali Candrabhaga digali oleh
Maharaja Yang Mulia Purnawarman, yang mengalir hingga ke laut, bahkan kali ini
mengalir disekeliling istana kerajaan. Kemudian, semasa 22 tahun dari tahta
raja yang mulia dan bijaksana beserta seluruh panji-panjinya menggali kali yang
indah dan berair jernih, “Gomati” namanya. Setelah sungai itu mengalir
disekitar tanah kediaman Yang Mulia Sang Purnawarman. Pekerjaan ini dimulai
pada hari yang baik, yaitu pada tanggal 8 paro petang bulan Phalguna dan
diakhiri pada tanggal 13 paro terang bulan Caitra. Jadi, selesai hanya 21 hari
saja. Panjang hasil galian kali itu mencapai 6.122 tumbak. Untuk itu, diadakan
selamatan yang dipimpin oleh para Brahmana dan Raja mendharmakan 1000 ekor
sapi…). Tulisan dalam prasasti ini menggambarkan perintah Raja Purnawarman
untuk menggali kali Candrabhaga, yang bertujuan untuk mengairi sawah dan
menghindar dari bencana banjir yang kerap melanda wilayah Kerajaan
Tarumanagara.
Setelah
kerajaan Tarumanagara runtuh (abad 7), kerajaan yang memiliki pengaruh cukup
besar terhadap Bekasi adalah Kerajaan Padjadjaran,
terlihat dari situs sejarah Batu Tulis
(di daerah Bogor), Sutarga lebih jauh menjelaskan, bahwa Bekasi merupakan
bagian dari wilayah Kerajaan Padjadjaran dan merupakan salah satu pelabuhan
sungai yang ramai dikunjungi oleh para pedagang. Bekasi menjadi kota yang
sangat penting bagi Padjadjaran, selanjutnya menjelaskan bahwa: “..Pakuan
adalah ibukota Kerajaan Padjadjaran yang baru. Proses perpindahan ini
didasarkan atas pertimbangan geopolitik dan strategi militer. Sebab, jalur
sepanjang Pakuan banyak dilalui aliran sungai besar yakni sungai Ciliwung dan
Cisadane. Oleh sebab itu, kota-kota pelabuhan yang ramai ketika itu akan mudah
terkontrol dengan baik seperti Bekasi, Karawang, Kelapa, Tanggerang dan Mahaten
atau Banten Sorasoan…”
Demikianlah,
waktu berlalu, kerajaan-demi kerajaan tumbuh, berkembang, mengalami masa
kejayaan, runtuh, timbul kerajaan baru. Kedudukan Bekasi tetap menempati posisi
strategis dan tercatat dalam sejarah masing-masing kerajaan (terakhir tercatat
dalam sejarah, kerajaan yang menguasai Bekasi adalah Kerajaan Sumedanglarang, yang menjadi bagian dari Kerajaan Mataram). Bahkan bukti-bukti mengenai keberadaan
kerajaan ini sampai sekarang masih ada, misalnya : ditemukannya makam
Wangsawidjaja dan Ratu Mayangsari (batu nisan), makam Wijayakusumah serta sumur
mandinya yang terdapat di kampung Ciketing, Desa Mustika Jaya, Bantargebang.
Dimana baik batu nisan maupun kondisi sumur serta bebatuan sekitarnya,
menunjukkan bahwa usianya parallel dengan masa Kerajaan Sumedanglarang.
Demikian pula penemuan rantai di Kobak Rante, Desa Sukamakmur, Kecamatan
Sukakarya (konon katanya, daerah Kobak Rante adalah daerah pinggir sungai yang
cukup besar, hingga mampu dilayari kapal. Jalur ini sering digunakan patroli
kapal dari Sumedanglarang.
MASA HINDIA BELANDA, Pada masa ini masuk ke dalam
Regentschap Meester Cornelis, yang terbagi atas empat district, yaitu Meester
Cornelis, Kebayoran, Bekasi dan Cikarang. District Bekasi, pada masa penjajahan
Belanda dikenal sebagai wilayah pertanian yang subur, yang terdiri atas
tanah-tanah partikelir, system kepemilikan tanahnya dikuasai oleh tuan-tuan
tanah (kaum partikelir), yang terdiri dari pengusaha Eropa dan para saudagar
Cina. Diatas tanah partikelir ini ditempatkan Kepala Desa atau Demang, yang
diangkat oleh Residen dan digaji oleh tuan tanah. Demang ini dibantu oleh
seorang Juru Tulis, para Kepala Kampung, seorang amil, seorang pencalang
(pegawai politik desa), seorang kebayan (pesuruh desa), dan seorang ulu-ulu (pengatur
pengairan).
Untuk
mengawasi tanah, para tuan tanah mengangkat pegawai atau pembantu dekatnya,
disebut potia atau lands opziener. Potia biasanya keturunan Cina, yang diangkat
oleh tuan tanah. Tugas potia adalah mengawasi para pekerja, serta mewakili tuan
tanah apabila tidak ada ditempat. Disamping itu ada juga Mandor yang menguasai
suatu wilayah, disebut wilayah kemandoran. Dalam praktek sehari-hari, mandor
sangatlah berkuasa, seringkali tindakannya terhadap para penggarap melampaui
batas-batas kemanusiaan. Para penggarap adalah pemilik tanah sebelumnya, yang
tanahnya dijual pada tuan tanah. Orang yang diangkat mandor biasanya dari para
jagoan atau jawara yang ditakuti oleh para penduduk.
Distrik
Bekasi terkenal subur yang produktif, hasilnya lebih baik jika dibandingkan
dengan distrik-distrik lain di Batavia, distrik Bekasi rata-rata mencapai 30-40
pikul padi setiap bau, sedangkan distrik lain hanya mampu menghasilkan padi
15-30 pikul setiap bau’nya. Namun yang menikmati hasil kesuburan tanah Bekasi adalah
Sang tuan tanah, bukanlah rakyat Bekasi. Rakyat Bekasi tetap kekurangan, dalam
kondisi yang serba sulit, seringkali muncul tokoh pembela rakyat kecil, semisal
Entong Tolo, seorang kepala perambok yang selalu menggasak harta orang-orang
kaya, kemudian hasilnya dibagikan kepada rakyat kecil, karenanya rakyat sangat
menghormati dan melindungi keluarga Entong Tolo, Sang Maling Budiman, Robin
Hood’nya rakyat Bekasi. Di hampir semua wilayah Bekasi memiliki cerita sejenis,
dengan versi dan nama tokoh yang berbeda. Hal ini juga, yang mempengaruhi sikap
dan cara pandang masyarakat Bekasi, terhadap sesuatu yang berhubungan dengan
ke’jawara’an.
Setelah
Entong Tolo ditangkap dan dibuang ke Manado, tahun 1913 di Bekasi muncul
organisasi Sarekat Islam (SI) yang banyak diminati masyarakat yang sebagian
besar petani. Berbeda dengan di daerah lain, kepengurusan SI Bekasi didominasi
oleh kalangan pedagang, petani, guru ngaji, bekas tuan tanah dan pejabat yang
dipecat oleh Pemerintah Hindia Belanda, serta para jagoan yang dikenal sebagai
rampok budiman. Karena jumlah yang cukup banyak, SI Bekasi kemudian menjadi
kekuatan yang dominan ketika berhadapan dengan para tuan tanah. Antara
1913-1922, SI Bekasi menjadi penggerak berbagai protes sebagai upaya
penentangan terhadap berbagai penindasan terhadap petani, misalnya pemogokkan
kerja paksa (rodi), protes petani di Setu (1913) sampai pemogokkan pembayaran
“cuka” (1918).
MASA PENDUDUKAN JEPANG, Kedatangan Jepang di Indonesia bagi
sebagian besar kalangan rakyat, memperkuat anggap eksatologis ramalan Jayabaya
(buku “Jangka Jayabaya”, mengungkapkan :”…suatu ketika akan datang bangsa
kulit kuning dari utara yang akan mengusir bangsa kulit putih. Namun, ia hanya
akan memerintah sebentar yakni selama ‘seumur jagung’, sebagai Ratu Adil yang
kelak akan melepaskan Indonesia dari belenggu penjajahan…”
Pada
awalnya, penaklukan Jepang terhadap Belanda disambut dengan suka cita, yang
dianggap sebagai pembebas dari penderitaan. Rakyat Bekasi menyambut dengan
kegembiraan, dan semakin meluap ketika Jepang mengijinkan pengibaran Sang Merah
Putih dan dinyanyikannya lagu Indonesia Raya. Namun kegembiraan rakyat Bekasi
hanya sekejap, selang seminggu pemerintah Jepang mengeluarkan larangan
pengibaran Sang Merah Putih dan lagu Indonesia Raya. Sebagai gantinya Jepang
memerintahkan seluruh rakyat Bekasi mengibarkan bendera “Matahari Terbit” dan
lagu “Kimigayo”. Melalui pemaksaan ini, Jepang memulai babak baru penindasan,
yang semula dibanggakan sebagai “saudara tua”.
Kekejaman
tentara Jepang semakin kentara, ketika mengintruksikan agar seluruh rakyat
Bekasi berkumpul di depan kantor tangsi polisi, untuk menyaksikan hukuman
pancung terhadap penduduk Telukbuyung bernama Mahbub, yang ditangkap karena
diduga sebagai mata-mata Belanda dan menjual surat tugas perawatan kuda-kuda
militer Jepang. Hukum pancung ini sebagai shock theraphy agar menimbulkan efek
jera dan ketakutan bagi rakyat Bekasi. Bala tentara Jepang juga memberlakukan
ekonomi perang, padi dan ternak yang ada di Bekasi Gun dicatat, dihimpun dan
wajib diserahkan kepada penguasa militer Jepang. Bukan saja untuk keperluan
sehari-hari tapi juga untuk keperluan jangka panjang, dalam rangka menunjang
Perang Asia Timur Raya.
Akibatnya,
rakyat Bekasi mengalami kekurangan pangan, keadaan ini makin diperparah dengan
adanya “Romusha” (kerja rodi). Pemerintah militer Jepang juga melakukan
penetrasi kebudayaan dengan memaksa para pemuda Bekasi untuk belajar semangat
bushido (spirit of samurai), pendewaan Tenno Haika (kaisar Jepang). Para pemuda
dididik melalui kursus atau dengan melalui pembentukan Seinendan, Keibodan,
Heiho dan tentara Pembela Tanah Air (PETA), yang kemudian langsung ditempatkan
kedalam organisasi militer Jepang.
Selain
organisasi bentukan Jepang, pemuda Bekasi mengorganisasikan diri dalam
organisasi non formal yaitu Gerakan Pemuda Islam Bekasi (GPIB), yang didirikan
pada tahun 1943 atas inisiatif para pemuda Islam Bekasi yang setiap malam
Jum’at mengadakan pengajian di Mesjid Al –Muwahiddin, Bekasi, para anggotanya
terdiri atas pemuda santri, pemuda pendidikan umum dan pemuda “pasar” yang buta
huruf. Awalnya GPIB dipimpin oleh Nurdin, setelah ia meninggal 1944, digantikan
oleh Marzuki Urmaini. Hingga awal kemerdekaan BPIB memiliki anggota yang
banyak, markasnya di rumah Hasan Sjahroni, di daerah pasar Bekasi, banyak anggotanya
kemudian bergabung ke-BKR dan badan perjuangan yang dipimpin oleh KH Noer Alie.
GPIB banyak memiliki Cabang antara lain, GPIB Pusat Daerah Bekasi (Marzuki
Urmaini dan Muhayar), GPIB Daerah Ujung Malang (KH Noer Alie), GPIB Daerah
Tambun (Angkut Abu Gozali, GPIB Kranji (M. Husein Kamaly) dan GPIB Cakung
(Gusir) berdirinya kabupaten Bekasi. Berdasarkan aturan hukum pada saat itu dan
melihat kegigihan rakyat memperjuangkan aspirasinya untuk membentuk suatu
pemerintahan tersendiri, setingkat Kabupaten, mulailah para tokoh dan rakyat
Bekasi berjuang agar pembentukan tersebut dapat terealisasikan. Awal tahun
1950, para pemimpin rakyat diantaranya R. Soepardi, KH Noer Alie, Namin,
Aminudin dan Marzuki Urmaini membentuk “Panitia Amanat Rakyat Bekasi”, dan mengadakan
rapat raksasa di Alun-alun Bekasi (17 Januari1950), yang dihadiri oleh ribuan
rakyat yang datang dari pelbagai pelosok Bekasi, dihasilkan beberapa tuntutan
yang terhimpun dalam “Resolusi 17 Januari”, yang antara lain menuntut agar nama
Kabupaten Jatinegara diubah menjadi Kabupaten Bekasi, tuntutan itu
ditandatangani oleh Wedana Bekasi (A. Sirad) dan Asisten Wedana Bekasi (R.
Harun).
Usulan
tersebut akhirnya mendapat tanggapan dari Mohammad Hatta, dan menyetujui
penggantian nama “Kabupaten Jatinegara” menjadi “Kabupaten Bekasi”, persetujuan
ini semakin kuat dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 14 Tahun 1950 yang
ditetapkan tanggal 8 Agustus 1950 tentang Pembentukan Kabupaten-kabupaten di
lingkungan Provinsi Jawa Barat, serta memperhatikan Peraturan Pemerintah No. 32
Tahun 1950 tentang berlakunya undang-undang tersebut, maka Kabupaten Bekasi
secara resmi terbentuk pada tanggal 15 Agustus 1950, dan berhak mengatur rumah
tangganya sendiri, sebagaimana diatur oleh Undang-undang Pemerintah Daerah pada
saat itu, yaitu UU No.22 Tahun 1948. Selanjutnya, ditetapkan oleh Pemerintah
Daerah Tingkat II Kabupaten Bekasi, bahwa tanggal 15 Agustus 1950 sebagai hari
jadi kabupaten.
Status
ini dikukuhkan dengan UU Nomor 14 Tahun 1950 mengenai pembentukan Kabupaten
Bekasi, dengan wilayah yang terdiri dari empat kewedanaan, 13 kecamatan dan 95
desa. Pada tahun 1960 kantor Kabupaten Bekasi berpindah dari Jatinegara ke kota
Bekasi (Jl. Ir. H Juanda), yang kemudian pada tahun 1982 gedung perkantoran
Pemda Kabupaten Bekasi kembali dipindahkan ke Jl. Ahmad Yani, Bekasi. Mulai
tahun 2004, Pemerintahan Kabupaten Bekasi dipindahkan ke Cikarang Pusat, Kota
Deltamas dengan tujuan untuk memeratakan pembangunan di daerah timur Bekasi.
KEPENDUDUKAN, Jumlah penduduk Kabupaten Bekasi
pada tahun 2004 mencapai 1.950.209 jiwa. Bila dilihat dari rasio penduduk
berdasarkan kelamin adalah 1,04 banding 1,00, dimana jumlah penduduk laki-laki
sebanyak 996.150 jiwa dan perempuan 954.054 jiwa. Adapun laju pertumbuhan
penduduk hasil perhitungan sensus tahun 2000 sebesar 4,23 % terdiri dari
migrasi 2,33 % dan alamiah 1,90%. Pada tahun 2005 jumlah penduduk
Kabupaten Bekasi bertambah menjadi 2.027.902 jiwa atau mengalami pertumbuhan
sebesar 3,98% dari tahun sebelumnya.Penduduk bekasi mayoritas merupakan pendatang
sehingga tak heran jika banyak budaya nya pn telah banyak berakulturasi.
TOPOGRAFI, Sebagian besar wilayah Bekasi adalah
dataran rendah dengan bagian selatan yang berbukit-bukit. Ketinggian lokasi
antara 0 – 115 meter dan kemiringan 0 – 250 meter. Kabupaten Bekasi yang terletak
di sebelah Utara Provinsi Jawa Barat dengam mayoritas daerah merupakan dataran
rendah, 72% wilayah Kabupaten Bekasi berada pada ketinggian 0-25 meter di atas
permukaan air laut. Berdasarkan karakteristik topografinya, sebagian besar
Kabupaten Bekasi masih memungkinkan untuk dikembangkan untuk kegiatan
budidaya,Terutama untuk budidaya ikan di tambak ataupun untuk budidaya hewan
domestik seperti ayam dan kambing.
Jenis
tanah di Kabupaten Bekasi diklasifikasikan dalam tujuh kelompok. Kelompok yang
paling layak untuk pengembangan pembangunan memiliki luas sekitar 16.682,25 Ha
(81,25%), yang terdiri dari jenis asosiasi podsolik kuning dan hidromorf
kelabu; komplek latosol merah kekuningan, latosol coklat, dan podsolik merah;
aluvial kelabu tua; asosiasi glei humus dan alluvial kelabu; dan asosiasi
latosol merah, latosol coklat kemerahan, dan laterit. Klasifikasi cukup layak
seluas 3.745,04 Ha (18,24%), terdiri dari jenis tanah asosiasi alluvial kelabu
dan alluvial coklat kekelabuan. Sisanya sekitar 104,71 Ha (0,51%) dari jenis
podsolik kuning merupakan areal yang kurang layak untuk pembangunan.
Ditinjau
dari tekstur tanahnya, sebagian besar wilayah ini memiliki tekstur tanah halus
sekitar 15.555,04 Ha (75,76%) dan bertekstur sedang sekitar 4.755,21 Ha (23,16%)
berada di sebelah utara dan sebelah selatan yakni, sedangkan sisanya sekitar
221,75 Ha atau 1,08% bertekstur kasar berada di sebelah barat. Tingkat kepekaan
tanah terhadap erosi cukup baik/stabil. Tingkat kepekaan ini diklasifikasikan
tiga bagian yakni stabil (tidak peka), peka, dan sangat peka. Sekitar 17.220,19
Ha (83,87%) dari luas lahan merupakan lahan stabil yang layak untuk
dikembangkan untuk berbagai macam kegiatan perkotaan. Seluas 3.127,02 Ha
(15,23%) dari lahanya memiliki kondisi peka dan masih cukup layak untuk
dibangun. Sedangkan di bagian selatan, lahnnya sangat peka terhadap erosi yakni
sekitar 184,79 Ha (0,9%), kurang layak untuk dikembangkan. Adanya beberapa
sungai yang melewati wilayah Kabupaten Bekasi merupakan potensi sebagai sumber
air untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Di Kabupaten Bekasi terdapat enam
belas aliran sungai besar dengan lebar berkisar antara 3 sampai 80 meter, yaitu
sebagai berikut Sungai Citarum, Sungai Bekasi, Sungai Cikarang, Sungai
Ciherang, Sungai Belencong, Sungai jambe, Sungai Sadang, Sungai Cikedokan,
Sungai Ulu, Sungai Cilemahabang, Sungai Cibeet, Sungai Cipamingkis, Sungai
Siluman, Sungai Serengseng, Sungai Sepak dan Sungai Jaeran.
Selain
itu, terdapat 13 situ yang tersebar di beberapa kecamatan dengan luas total 3
Ha sampai 40 Ha, yaitu Situ Tegal Abidin, Bojongmangu, Bungur, Ceper,
Cipagadungan, Cipalahar, Ciantra, Taman, Burangkeng, Liang Maung, Cibeureum,
Cilengsir, dan Binong. Saat ini kebutuhan air di Kabupaten Bekasi dipenuhi dari
2 (dua) sumber, yaitu air tanah dan air permukaan. Air tanah dimanfaatkan untuk
pemukiman dan sebagian industri. Kondisi air tanah yang ada di wilayah
Kabupaten Bekasi sebagian besar merupakan air tanah dangkal yang berada pada
kedalaman 5 – 25 meter dari permukaan tanah, sedangkan air tanah dalam pada
umumnya didapat pada kedalaman antara 90 – 200 meter. Air permukaan, seperti
sungai, dimanfaatkan oleh PDAM untuk disalurkan kepada konsumennya, baik
permukiman maupun industri.
PEMERINTAHAN, Kabupaten Bekasi dipimpin oleh
bupati Hj. Neneng Hasanah Yasin dan wakil bupati H. Rohim Mintareja yang
dicalonkan oleh fraksi Golkar, yang memerintah dari tahun 2012.
Neneng Hasanah Yasin adalah calon dari Partai Golkar dan H. Rohim Mintareja
dari partai Demokrat. Neneng
Hasanah Yasin adalah anggota DPRD jawa barat. Rohim Mintareja adalah anggota
DPRD Kab. Bekasi dari Dapil DPRD Kab. Bekasi 1 yang bertugas di Komisi C.
Pasangan ini cukup kuat di daerah Pebayuran, Tambun, Cibitung, Cikarang Barat,
Cibarusah, terkecuali di Cikarang Selatan yang mayoritas memilih pasangan Darip
Maulana dan Jejen Sayuti.
PEREKONOMIAN, Perekonomian Kabupaten Bekasi
ditopang oleh sektor pertanian, perdagangan dan perindustrian. Banyak industri
manufaktur yang terdapat di Bekasi, diantaranya kawasan industri Jababeka, Greenland
International Industrial Center (GIIC), Kota Deltamas Kota Deltamas, EJIP, Delta Silicon,
MM2100, BIIE dan
sebagainya. Kawasan-kawasan industri tersebut kini digabung menjadi sebuah Zona Ekonomi Internasional (ZONI) yang memiliki fasilitas
khusus di bidang perpajakan, infrastruktur, keamanan dan fiskal.
PERTAMBANGAN
1.
Minyak bumi. Beberapa sumur minyak bumi yang telah
dieksplorasi terdapat di Bekasi bagian utara. Salah satunya terdapat di Babelan, Gabus,
Muaragembong,
Cabangbungin
dan Tambun. Produksi minyak
mentah dari sumur minyak bumi di Tambun mencapai 6.126 barel per hari.
2.
Gas alam. Gas alam terdapat di Bekasi bagian selatan. Sumur
gas yang sudah berproduksi sejak tahun 2004 berjumlah enam buah. Sumur-sumur
gas tersebut terdapat di Blok Jatirarangon yang meliputi wilayah Cikarang
Selatan dan Cikarang Pusat. Cadangan gas alam di Blok Jatirarangon diperkirakan
sebesar 56,7 miliar kaki kubik. Selain itu sumur gas
nomer 3 juga menghasilkan minyak bumi dengan debit 90 barel per hari.
PARIWISATA
Kabupaten Bekasi memiliki beberapa obyek
wisata, di antaranya:
- Taman Buaya Indonesia Jaya
- Waterboom Lippo Cikarang
- Gedung juang 45 di Tambun
- Saung Ranggon di Desa Cikedokan
- Danau Cibeureum di dekat perumahan Grand Wisata
- Pantai Muara Beting
- Wisata Rumah Pohon di Jatiasih
- Hutan Kota di daerah Margahayu
- Danau Marakas, di Pondok Ungu
- Pantai Muara Bendera
- Pantai Muara Gembong
- Bumi Perkemahan Karang Kitri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar